Belakangan ini Jakarta menjadi sorotan nasional dan global karena kualitas udaranya yang buruk hingga masuk dalam kategori tidak sehat dan tidak layak huni. Hal ini menimbulkan kekhawatiran banyak orang yang ingin memahami penyebab pencemaran udara yang mengancam kesehatan dan lingkungan di sekitar Jakarta.
Meski banyak yang menyalahkan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara sebagai penyebab utama buruknya kualitas udara ibu kota, fakta yang terungkap menunjukkan sebaliknya. Menurut penjelasan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya yang disampaikan pada rapat terbatas kabinet di Istana Negara, sektor transportasi sebenarnya merupakan penyumbang pencemaran udara terbesar di Jakarta.
Angka-angka tersebut menunjukkan bahwa sektor transportasi menyumbang 44% konsumsi bahan bakar di Jakarta. Sedangkan industri energi menyumbang 31%, manufaktur 10%, perumahan 14%, dan komersial 1%. Dalam hal penghasil emisi karbon monoksida (CO), sektor transportasi menyumbang 96,36% dari total emisi CO Jakarta, diikuti oleh pembangkit listrik (1,76%) dan industri (1,25%).
Perlu diketahui, sepeda motor merupakan penyumbang utama emisi karbon dioksida per penumpang tertinggi, meski hanya menyumbang 78% dari total jumlah kendaraan bermotor di DKI Jakarta. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan jumlah sepeda motor per tahun juga berkontribusi terhadap peningkatan emisi CO di kota.
Sementara dari sisi emisi sulfur dioksida (SO2), industri merupakan penyumbang utama sebesar 61,9% dari total emisi SO2 di Jakarta. Energi menyumbang 25,17% dan kendaraan bermotor hanya 11%.
Laporan ini sekaligus membantah pemberitaan yang menyebutkan pencemaran udara Jakarta disebabkan oleh PLTU Suralaya di Cilegon, Provinsi Banten. Analisis pemantauan tahun 2019 menunjukkan pergerakan pencemaran tidak mengarah ke Jakarta, melainkan ke Selat Sunda.
Quoted From Many Source